Medianusantaranews.com,
Liwa-Maraknya berita mengenai carut marutnya pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan yang diduga terjadi kong-kali-kong yang dilakukan oleh para pejabat dinas pendidikan Lampung Barat semakin mendapat sorotan masyarakat. Para pejabat dimaksud seperti kepala dinas, kepala bidang atau kepala seksi sarana dan prasarana.
Dugaan terjadinya penyimpangan DAK di dinas pendidikan Kabupaten Lampung Barat, yang pernah dilangsir koran ini memberitakan bahwa beberapa kepala sekolah SD maupun SMP yang mengeluh atas setoran yang harus mereka setorkan kepada oknum baik dari dinas pendidikan melalui tangan lain.
Salah seorang pemerhati masalah korupsi di Bandar Lampung, Dr (Can) Ardiansyah ketika diminta tanggapannya, Rabu (05/12) menyebutkan ada beberapa praktek yang dilakukan oleh oknum dinas pendidikan di suatu daerah agar selamat dari jerat hukum.
Ardiansyah menjelaskan, sesuai dengan yang disampaikan Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam Public Accountability Report (PAR) beberapa waktu lalu, bahwa mereka atau para pejabat tersebut tidak mengorupsi secara langsung dana, tapi diduga meminta fee maupun mengintervensi proses pengadaan di sekolah-sekolah penerima proyek dan siapa yang akan melakukan pengerjaan atas proyek tersebut.
Selain itu, beberapa modus korupsi DAK pendidikan yang terjadi biasanya berkisar pada adanya penunjukan langsung. “Dalam modus ini, Dinas Pendidikan mengintervensi sekolah agar menggunakan jasa perusahaan tertentu untuk membangun/ merehabilitasi sekolah atau menyediakan alat penunjang belajar mengajar.
“Padahal semestinya, dalam petunjuk teknis yang dibuat Depdiknas, pengelolaan DAK pendidikan dilakukan secara swakelola yaitu pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri oleh sekolah yang bersangkutan,” ujarnya.
Setelah modus penunjukan langsung maka praktek ini diikuti oleh modus korupsi mark-up (penggelembungan) oleh pejabat Disdik maupun sekolahan. “Ketidaktahuan stakeholder sekolah mengenai DAK, tidak dilibatkan dalam perencanaan dan kegiatan, buruknya pengawasan internal dan tidak ada mekanisme komplain, membuat mark-up menjadi modus korupsi DAK Pendidikan,” katanya menirukan hasil release ICW.
Modus lainnya adalah pungutan liar, umumnya dilakukan setelah sekolah-sekolah menerima kucuran dana. Alasan yang digunakan biasanya sebagai tanda terimakasih sekolah kepada dinas pendidikan. “Ini modus yang biasanya banyak dilakukan dan mungkin yang terjadi di hampir seluruh kabupaten termasuk Kabupaten Lampung Barat untuk DAK 2018. Tetapi memang susah membuktikan pungutan liar ini kalau tidak operasi tangkap tangan, karena tidak ada buktinya,” tambah Ardiansyah.
Terkait hal ini, dia menghimbau agar penegak hukum khususnya kejaksaan dan kepolisian bisa melakukan tindakan cepat dan mengusut dugaan-dugaan adanya berbagai modus penyimpangan dana DAK Pendidikan Lampung Barat. Sebab bila didiamkan bisa menyebabkan kerugian negara dan masyarakat. “Bisa saja tahun 2019 Kepala Sekolah ada yang enggan untuk mendapatkan DAK,” ujarnya berseloroh.
Sementara itu, khusus untuk SMA, Ardiansyah juga mengomentari tentang beberapa temuan banyak panitia pengelola dari sekolahan di kabupaten Lampung Barat tahun 2018 yang hanya menjadi pajangan untuk menyiasati aturan. Contohnya yang terjadi di SMAN 1 Batubrak yang tidak melibatkan panitia komite sekolah sebagai bagian yang semestinya difungsikan. Meskipun diterbitkan Surat Keputusan pembangunan di SMAN 1 Batubrak tetapi tidak pernah melalui proses rapat ataupun musyawarah dari seluruh stakeholder. (YD@-Red)