Siaran Pers: Kekerasan dan Efek Gawai, Hantu Bagi Anak Indonesia

BANDARLAMPUNG –Peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh hari ini, 23 Juli 2018, jadi pranala empati sejumlah tokoh. Mereka angkat bicara merespons isu strategis pemuliaan hak anak, ancaman kekerasan, studi efek negatif gawai pada tumbuh kembang anak, hingga belantara harapan masa depan anak Indonesia.

Adanya fakta bahwa anak-anak Indonesia sampai kini belum terbebas dan merdeka dari berbagai bentuk peluang ancaman dan tindak kekerasan, sungguh pantang diabaikan. Kasus terbaru fenomena pelibatan anak dalam aksi terorisme, juga mengusik kelindan perhatian.

Gentayang hantu kekerasan atas anak ini diungkapkan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PAI) Arist Merdeka Sirait. Dibuktikan dengan parameter masih tingginya angka pengaduan kekerasan terhadap anak yang masuk ke Komnas PAI sepanjang tahun 2017.

“Sepanjang 2017, kami menerima 2.737 kasus pengaduan kekerasan terhadap anak, dengan bentuk kekerasan yang sering dialami korban yakni sodomi, oral seks, perkosaan, perbuatan cabul, dan hubungan seksual sedarah (incest). Sebanyak 58 persen di antaranya didominasi kekerasan seksual yang tidak saja dilakukan orang per orang tapi juga dilakukan secara bergerombol (geng rape),” ungkap Arist, saat dikonfirmasi redaksi, Senin (23/7/2018), siang.

“Ini mencengangkan. Dari angka 58 persen itu, 82 persen pelakunya orang terdekat korban, 16 persen pelakunya berusia anak. Rerata korban 14 persen berusia di bawah 14 tahun, sisanya 86 persen berusia 15-17 tahun,” papar Arist.

Sebaran kasus itu, sambung dia, merata di berbagai daerah di Indonesia, desa dan kota. Sementara, latar pendidikan juga tidak jadi faktor penentu tindakan kekerasan atas anak. “Rumah, lingkungan sekolah, ruang publik atau tempat bermain anak, serta pondok atau panti-panti anak tak lagi memberi rasa nyaman dan aman bagi anak. Justru lingkungan inilah tempat pemangsa hak-hak anak,” tandas dia.

Keadaan ini, sambung dia lagi, diperparah dengan pemahaman tradisional masyarakat bahwa anak masih dianggap milik yang wajib tunduk pada otoritas orang dewasa dalam keadaan apapun.

“Orang tua sebagai lini dan garda terdepan pelindung anak masih memakai pendekatan proses pendidikan dan pendisiplinan dalam keluarga “di ujung rotan ada emas”. Kemudian, anak di tengah keluarga belum dianggap sebagai amanah bagi keluarga yang patut, wajib mendapat perlindungan dari berbagai bentuk eksploitasi, kekerasan, penelantaran dan diskriminasi,” imbuh pria asal Pematang Siantar, Sumatera Utara itu.

Akibatnya, anak dalam keluarga sering ditempatkan sebagai properti, aset dan sumber alternatif ekonomi keluarga. “Anak tak lagi mempunyai kesempatan menjadi manusia yang berharkat-bermartabat,” imbuh dia lagi.

“Untuk memerdekakan anak dari segala bentuk kekerasan, dibutuhkan tanggung jawab dan peran serta keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.”

Kemudian, lanjut pengganti Kak Seto sebagai Ketua Umum Komnas PAI sejak 2010 dan terkenal vokal membela hak anak ini, untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap anak, tanggung jawab pemerintah sangat diperlukan.

“Dengan melibatkan partisipasi masyarakat, membangun kembali sistem kekerabatan di setiap tempat baik di desa atau di kampung yang pernah ada. Dan hidup sebagai budaya ketimuran dengan cara menggerakkan desa atau kampung ramah dan bersahabat anak,” ujarnya berpesan.

Mantan Sekjen Komnas PAI sejak 1998-2010 ini seperti tak bosan mengingatkan bahwa anak Indonesia belum terbebas dari kekerasan. Dari itu, di Hari Anak Nasional ini, Komnas PAI bersama Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Tanah Air yang bertugas melindungi anak Indonesia menyampaikan harapan tertingginya.

“Kami berharap, menyerukan pada keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk mengakhiri segera, segala bentuk kekerasan terhadap anak. Segera pula menangkal segala bentuk penanaman paham radikalisme, ujaran kebencian, intoleransi, dan pelibatan anak dalam aksi terorisme. Karena itu merupakan bentuk kekerasan tersembunyi terhadap anak,” pungkas ayah dari Debora, Christine, dan Namalo, buah perkawinannya dengan Rosti Munthe itu.

Irisan berbeda disampaikan Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUDI) Provinsi Lampung Citra Persada. Doktor multitalenta ini menyoroti tren positif teknologi digital yang justru efek negatifnya lebih besar bagi tumbuh kembang anak, dimana internet dan game online hampir pasti jadi “candu” baru.

Dikatakan dia, kini era “teknologi gawai” bisa jadi ancaman bagi anak, terbukti dari banyaknya kasus anak tumbuh jadi generasi instan, tidak sabaran, sulit berkomunikasi, depresi, bahkan gangguan kejiwaan. “Program pengasuhan keluarga harus terus digalakkan, karena pengampu paling bertanggung jawab sesungguhnya ya ayah dan ibu,” terang Citra, melalui saluran WhatsApp, Senin (23/7/2018).

Dia menekankan, perlu digerakkan sekolah orang tua khususnya menghadapi berubahnya zaman. Perubahan pola asuh sesuai dinamika zaman sudah jadi kebutuhan. “Inilah zaman dimana perubahan di segala bidang kehidupan berjalan sangat drastis,” kata sosok hijabers ini.

Planolog terkemuka yang juga dosen Institut Teknologi Sumatera (ITERA) ini menggarisbawahi, sangat sulit merubah karakter anak usia di atas 5 tahun, sehingga perlu penanaman karakter sejak jenjang pendidikan usia dini (PAUD, Red). “Pesan saya, bebaskan anak dari yang namanya gawai. Lebih bagus, gunakan gawai hendaknya saat anak berusia di atas 8 tahun dengan porsi yang sesuai tumbuh kembangnya,” lugas dia.

“Selamat Hari Anak Indonesia, dimanapun kalian berada. Pesan Bunda, jauhi gawai, terus dekat dengan ayah ibu, juga bapak ibu guru,” tutup Citra. (Red)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *