Hasil RDP Komisi V DPR Selasa, Ketum Gaspool Suarakan Legalitas Ojol

BANDARLAMPUNG — Ketua Umum Gaspool, atau Gabungan Admin Shelter Ojek Online Lampung, Miftahul Huda, angkat bicara usai jadi bagian Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi V DPR terkait rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), di ruang rapat komisi, Senayan, Jakarta, Selasa (21/1/2020).

Atas undangan komisi bidang infrastruktur, transportasi, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi, meteorologi, klimatologi, dan geofisika, pencarian dan pertolongan tersebut, Miftahul Huda hadir bersama pimpinan PPTJDI (Perkumpulan Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia) dan SOPAN, yang tergabung front GARDA (Gabungan Aksi Roda Dua).

“Ada juga perwakilan dari Kota Palu turut hadir,” ujarnya via WhatsApp, saat dihubungi mengaku tengah kembali menuju hotelnya menginap di Jakarta, Selasa malam.

Merekam-digitalkan kesimpulan rapat yang juga membahas payung hukum pengemudi transportasi berbasis daring (ojek online/ojol) roda dua (R2) itu, keterangan tertulis Miftahul menggarisbawahi soal pentingnya payung hukum itu berdasarkan fakta ojol R2 yang sampai kini belum secara jelas diakui legalitasnya oleh negara.

“Dalam UU Nomor 22 Tahun 2009, angkutan roda dua tidak termasuk dalam kategori angkutan umum,” ujar Iif, sapaan akrab pria plontos 40 tahun berlatar profesional ini.

Menurut hemat dia, meskipun pemerintah melalui Kementerian Perhubungan RI telah berusaha memberikan angin segar melalui terbitnya Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2019 dan KP. 348 Tahun 2019. “Namun tidak serta merta menyelesaikan permasalahan angkutan online roda dua,” tukas dia.

Mengapa? Karena menurutnya, PM 12/2019 baru sebatas mengatur tentang keselamatan dan tarif (KP. 348), sedang untuk kemitraan belum diatur sehingga para driver ojol tetap rentan terhadap intimidasi dan tekanan sepihak dari pihak aplikator.

“Dalam Permen belum diatur tentang sanksi bagi driver maupun aplikator jika melanggar,” argumennya, merujuk data pelanggaran kemitraan dan suspend sepihak aplikator tanpa penjelasan yang masih jamak di pelbagai daerah, serta adanya pelanggaran tarif salah satu aplikator baru yang seperti tak tersentuh hukum.

Ditegaskan, ojol perlu payung hukum yang jelas, tegas. Negara harus hadir melindungi jutaan driver ojol di Indonesia. “UU 22/2009 harus direvisi. Ojol dan aplikator transportasi online harus diatur oleh negara sebagai transportasi umum,” tegasnya.

Tiga hal menarik lain mencuat dalam rapat mulai pukul 13.40 WIB itu. Yakni, adanya rencana usulan untuk menegaskan aplikasi transportasi online jadi sebuah perusahaan transportasi online, bahasan soal PPh (pajak penghasilan) dan potensi pendapatan daerah yang sangat mungkin digali dari bisnis transportasi online.

Serta, skema penetapan tarif yang nantinya akan dikembalikan ke pengambil kebijakan di tingkat provinsi. “Kementerian terkait hanya menetapkan pola perhitungannya saja,” Miftahul menambahkan.

Setelah UU 22/2009 diamandemen, imbuh ia, pemerintah daerah nantinya harus membuat peraturan daerah yang mengatur keberadaan ojol di daerah masing-masing.

Lalu membuat tim penetapan tarif per provinsi berdasar perhitungan melibatkan minimal tiga pihak. “Aplikator transportasi online, pemerintah, dan perwakilan driver melalui organisasi yang jelas legalitasnya,” sebut Iif, berharap dengan demikian, nasib jutaan mitra ojol bisa lebih terjamin keberlangsungannya.

Kesempatan itu, pimpinan rapat, Ketua Komisi V DPR dari F-PDI Perjuangan Lasarus didampingi anggota komisi dari F-Partai Golkar Ridwan Bae, menegaskan rencana parlemen soal revisi yang nantinya juga akan mengakomodir transportasi daring roda dua.

“Untuk roda dua memang dalam UU 22 Tahun 2009 disebutkan kendaraan roda dua bukan angkutan umum. Ketika dia menjadi angkutan umum, itu perlu diatur. Maka dari itu, kami akan merevisi UU,” bilang dia, seperti dikutip dari laman DPR.

Ujar ia, revisi akan memperjelas pendapatan, pengaturan pajak, termasuk hubungan kerja untuk transportasi daring. Untuk itu, Komisi V meminta PPTJDI membuat kajian-kajian sebagai masukan saat pembahasan nanti.

“Bapak-bapak kan lebih paham terkait permasalahan ini. Supaya revisi yang kita lakukan bisa menyelesaikan masalah, saya minta PPTJDI melakukan kajian, disepakati bersama asosiasi yang ada, kemudian kirim ke kami. Itu akan kami jadikan bahan dalam pembahasan UU,” pinta Lasarus serius.

Sementara, Ketua PPTJDI Igun Wicaksono meminta Komisi V DPR untuk melegalkan ojol jadi angkutan umum. “Sampai kini angkutan R2 (ojol) sendiri belum mendapat kepastian hukum. Untuk itu, kami harap DPR bisa memberi kepastian dan perlindungan melalui revisi UU 22/2019,” cetusnya.

Selain payung hukum, legalnya ojol juga akan memberi kepastian soal pungutan pajak. Igun menuturkan, beberapa aplikator sudah melakukan pungutan pajak padahal dasar hukumnya belum ada. “Dengan legalnya transportasi daring jadi angkutan umum, akan ada kepastian hukum baik dari pengendara maupun pengemudi,” harap dia. [red/Muzzamil]




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *