JADI PEJABAT PUBLIK JANGAN ANTI KRITIK, ATAU TIDAK USAH

Opini Publik
medianusantaranews.com

Banyak isu yang berseliweran jadi perbincangan hangat menjadi paradigma di masyarakat daerah. Mulai dari isu korupsi, isu proyek sudah ada pemiliknya sebelum tender, isu uang setoran proyek, isu proyek belum dikerjakan namun sudah dibayar, bahkan sampai isu adanya bawahan yang merasa tertekan karena kehendak atasan, ada juga isu masalah pilkada yang belum diketahui pasangan mana yang sudah pasti maju, isu adanya pihak – pihak yang mencoba menjegal lawan politiknya agar tidak bisa menjadi kontestan, isu pejabat tidak mau dikritik, dan banyak lagi isu – isu menarik.

Isu – isu tersebut sudah menjadi rahasia umum, namun sulit dibuktikan, walau demikian tetap menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari yang asik didengar

Dalam menyikapi isu tersebut, masyarakat sipil belum bisa mengambil tindakan lebih selain hanya mengungkapkan keresahan lewat media sosial, lewat media berita sekedar dugaan ataupun tulisan – tulisan yang lain.

Selain isu – isu yang telah disebutkan di atas, isu yang hangat belakangan ialah kebebasan berpendapat dan menuliskan dugaan yang bisa dikriminalisasi.

Adanya tindakan kepada orang yang mengkritisi pejabat, seolah jadi salah. Karena masyarakat dipaksa untuk tetap patuh dan percaya bahwa pejabat itu selalu benar tanpa kesalahan.

Membahas tentang kebebasan berpendapat kita mesti hati – hati karena kita bisa kena UU ITE, tidak terkecuali disaat kita mengkritik pejabat publik.

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi. Negara wajib untuk memenuhi dan melindungi hak tersebut.

Pasal 28 UUD 1945 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Selain itu, ada juga Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dipertegas dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpendapat tertuang dalam Pasal 23 Ayat 2 dan Pasal 25.

Menurut Pasal 23 Ayat 2, setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan, melalui media cetak maupun elektronik, dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

Merujuk pada undang-undang ini, kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Mirisnya, walaupun sudah jelas ada payung hukumnya namun pada beberapa kesempatan, orang-orang yang mengkritik oknum pejabat pemerintah dapat dengan mudah dipidanakan.

Seakan para pemangku kebijakan atau pejabat senantiasa selalu benar dalam berbuat serta tidak pernah luput dari kesalahan. Padahal kita tahu sudah berapa banyak pejabat terkurung di terali besi karena kesalahannya.

Seharusnya seorang pejabat publik bisa lebih menerima dan terbuka atas kritikan yang ditujukan kepadanya, bukannya merasa ter-ofensif dengan adanya kritikan yang diberikan.

Jikalau seorang pejabat publik sudah anti dengan kritikan, maka akan memulai awal dari kegaduhan. Bisa saja akan timbul hal-hal yang berseberangan dan tidak dikehendaki oleh masyarakat.

Sedangkan kita semua tahu bahwa seseorang dapat duduk dalam dalam jabatannya karena amanah dan demi masyarakat itu sendiri.

Bisa jadi ketika kritikan ditanggapi dengan tindak pidana, artinya pejabat itu sendiri sudah merasa tersinggung dengan benarnya perbuatan yang telah ia perbuat.

Tentunya kita masih ingat dengan pernyataan Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu dalam diskusi Indonesia Lawyers Club di tvOne beberapa waktu yang silam.

Said Didu mengatakan setiap pejabat di pemerintahan harus siap menerima kritikan dari pihak manapun, termasuk rakyat Indonesia.

Menurutnya, jika seorang pejabat anti terhadap kritikan, dirinya meminta pejabat tersebut untuk mundur dari jabatan publik.

“Pejabat publik harus siap terhadap kritikan. Kalau pejabat publik anti kritikan jangan jadi pejabat publik,” kata Said Didu.

Rakyat, lanjut Said Didu, berhak mengkritik para pejabat publik. Sebab, kehidupan pejabat publik seperti gaji dan tunjangan lainnya berasal dari rakyat.

Ia meminta seorang pejabat publik tak menggunakan perasaan saat menerima kritikan dari rakyat.

“ Kalau rakyat mempertanyakan itu normal. Kalau tak kuat jadi pejabat publik maka mundur. Jadi jangan pakai perasaan,” katanya.

Said Didu menuturkan, kebebasan berpendapat, merupakan hak dasar rakyat. Pro dan kontra dalam suatu kebijakan menurutnya hal biasa dalam demokrasi. Tugas pemerintah hanya menjelaskan kebijakan yang diambil dan dikritik rakyat, bukan menyerang personal pihak yang kontra.

“Pemerintah menjelaskan kebijakan yang diambil bukan menyerang personal. Menerima kritik bentuk pertanggungjawaban publik. Saya berharap ke depan UU ITE muncul menyelesaikan masalah yang merugikan rakyat,” katanya.

Bahkan Said Didu mengungkapkan
kualitas pejabat yang anti terhadap kritik nantinya hanya menganut sistem ABS yaitu Asal Bapak Senang. Ia pun bercerita, selama 32 tahun berada di pemerintahan, dirinya justru senang mendapatkan kritikan. Sebab, dirinya mendapatkan analis gratis dari setiap kritikan.

“32 tahun di pemerintahan saya menikmati pendapat orang karena kita dapat analisis gratis,” jelasnya.

Sementara itu, menyikapi musim pemilihan kepala daerah yang sebentar lagi akan digelar. Masyarakat setempat yang memiliki hak memilih, jangan salah pilih pemimpin. Hindari Calon pemimpin yang ” anti kritik “. Karena bila daerah dipimpin oleh figur yang “anti kritik” maka akan sering terjadi kegaduhan, pelaksanaan pembangunan pun bisa terancam tidak kondusif.

 

 

Oleh : Aben




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *